09 April lalu Indonesia punya gawe. Pesta rakyat sih katanya, buat kamu semua ada yang udah nyoblos belum? atau mungkin ada yang golput? selidik punya selidik pemilu tahun ini paling hancur dari pemilu-pemilu sebelumnya. Ya karna masalah DPT lah, KPU yang nggak siap, ataupun rumitnya cara untuk nyontreng. Fantastis! Itulah kata yang terlontar saat Komisi Pemilihan Umum atau KPU, 7 Juli 2008, mengumumkan 34 partai politik nasional dan enam parpol lokal di Aceh akan mengikuti Pemilihan Umum 2009.
Maklum, pertama, ketika kita berharap terjadi pengerucutan jumlah dari 48 parpol (Pemilu 1999) menjadi 24 parpol (Pemilu 2004) dan diharapkan menjadi 12 parpol (Pemilu 2009), ternyata malah membengkak menjadi 34 parpol nasional plus 6 partai lokal Aceh. Ini terjadi karena ”politik dagang sapi” pada proses legislasi yang menghasilkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, antara lain, menetapkan, 16 parpol yang memiliki kursi di DPR otomatis menjadi peserta Pemilu 2009, ditambah 18 parpol baru yang lolos verifikasi, dan 6 partai lokal Aceh dibolehkan ikut pemilu legislatif. Ke-34 parpol nasional itu akan memperebutkan 560 kursi di DPR, sedangkan enam partai lokal Aceh akan memperebutkan kursi DPRA dan DPRD kabupaten di Aceh.Fantastis kedua, masa kampanye Pemilu 2009 yang dimulai 12 Juli 2008, berlangsung delapan bulan, lebih lama dibanding masa kampanye pemilu sebelumnya. Ini akan menimbulkan ingar-bingar politik. Selain itu, kita juga tak dapat membayangkan, berapa triliun rupiah yang akan dikeluarkan oleh seluruh partai nasional dan partai lokal, baik untuk kampanye tertutup maupun terbuka, arak- arakan, pertemuan tatap muka, dan iklan-iklan di media cetak dan elektronik di pusat dan daerah.Sebagai contoh, Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) Partai Golkar menyiapkan Rp 200 miliar untuk kampanye hingga April 2009. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sudah membagi uang jutaan rupiah kepada UKM sebagai modal kerja sebelum kampanye 12 Juli 2008 dimulai (The Jakarta Post, 9/7/2008). Dana kampanye dari mana-mana, iuran anggota, donasi individu atau perusahaan, dan lainnya.Lantas, berapa pengeluaran individu para bakal calon anggota legislatif 2009-2014 agar dapat menduduki kursi legislatif. Jika Golkar dan PDI-P menyiapkan 14.000-15.000 bakal calon legislatif, masing-masing partai menengah menyiapkan 8.000-10.000 dan partai-partai kecil 5.000-8.000. Jika tiap bakal calon legislatif mengeluarkan dana Rp 200 juta, berapa triliun akan terkumpul? Fantastis. Itulah harga demokrasi. Belum lagi pemilu presiden 2009. Tak mengherankan jika survei Indo Barometer Desember 2007 menunjukkan, bagi 88,2 persen responden, 24 parpol dinilai terlalu banyak. Idealnya, kata survei itu, Indonesia hanya memiliki lima parpol (24,0 persen), tiga parpol (21,6 persen) atau maksimal 10 parpol (18,3 persen).Tujuh besarFantastis ketiga, meski ada 34 parpol, hasil survei Indo Barometer (9/7/2008) benar-benar mengejutkan, yaitu hanya akan ada tujuh besar partai pemenang pemilu, jumlah yang sama dengan pemilu legislatif 2004. Bedanya, jika pada tahun 2004 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masuk tujuh besar, pada 2009 partai ini mungkin akan menjadi nomor 8, sedangkan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) pimpinan Jenderal (Pur) Wiranto ke nomor 7 dengan 2,3 persen pemilih.Partai Golkar boleh saja berangan-angan meraih 30 persen suara, melebihi perolehan 2004 yang 22 persen dan menduduki peringkat teratas. Namun, geliat Partai Golkar ibarat gajah gemuk kehabisan tenaga. Golkar sedang kehilangan semangat dan greget. Dan, menurut survei Indo Barometer di 33 provinsi atas 1.200 responden (5-16/6/2008), tujuh besar partai pemenang Pemilu 2009 ialah PDI-P (23,8 persen), Partai Golkar (12,0 persen), Partai Demokrat (9,6 persen), PKS (7,4 persen), PKB (7,4 persen), PAN (3,5 persen), Partai Hanura (2,3 persen), dan PPP (1,6 persen). Sisanya, partai lain 3,0 persen dan 29,4 persen belum tahu/tidak menjawab pilihannya. Jika survei ini menjadi kenyataan, benar-benar fantastis! Lebih fantastis lagi, jumlah seluruh suara yang diperoleh partai-partai Islam pada Pemilu 2009 hanya 21,1 persen, lebih rendah 2,7 persen dari perolehan PDI-P! Mengapa? Karena tak ada beda antara partai Islam dan partai lain, perilaku elitenya juga sama.”Channel of control”Fantastis keempat, jika hasil survei Indo Barometer sahih, dapat diartikan akan ada sekitar 29,4 persen pemilih yang tidak akan menggunakan hak pilihnya. Persepsi masyarakat tentang parpol memang buruk. Selama ini parpol hanya merupakan alat mobilisasi massa, perekrutan, dan sosialisasi calon anggota legislatif atau pemimpin, menjadi saluran kekuasaan (channel of power), tetapi belum menjadi sumber identitas politik para pemilihnya.Sebagai saluran kontrol, parpol juga masih setengah hati, baik terhadap pemerintah maupun anggotanya. Lihat saja hiruk-pikuk di DPR soal hak angket terkait kenaikan harga BBM atau kian maraknya terungkap korupsi yang dilakukan anggota DPR. Lihat juga Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara pakar politik dan DPR saat pembuatan undang-undang, tidak jarang anggota DPR dari ideologi apa pun, secara bersemangat bersatu mengecam para pakar politik yang katanya mengelabui masyarakat soal legislative heavy. Bipartishanship antara legislatif dan eksekutif juga jarang terjadi, kecuali soal ”musuh bersama” dari luar, atau soal kenaikan gaji pegawai negeri sipil dan TNI/Polri dan terlebih lagi soal kenaikan tunjangan anggota Dewan!Pemilu legislatif dan pilpres 2009 dapat menjadi saluran kontrol masyarakat atas parpol. Sebagai warga negara yang demokratis, para pemilih bukan hanya akan antusias mendukung parpol atau capres/ cawapres, tetapi juga dapat memilih untuk tidak memilih lagi parpol dan/atau capres/cawapres yang kinerja politiknya buruk. Rakyat kian canggih menggunakan otoritas politiknya menentukan masa depan Indonesia. Inilah esensi kedaulatan rakyat.Bagi rakyat, demokrasi bukan lagi sekadar prosedur, tetapi bagaimana menata Indonesia ke depan yang lebih baik, anak cucu dapat menikmati kesejahteraan, rasa aman, dan martabat Indonesia yang semakin tinggi di mata internasional. [kompas]*Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
0 komentar:
Posting Komentar